Monday 27 February 2017

Beberapa Hal yang Aku Takutkan yang Mungkin Ku Temui di Masa Depan

Namanya waktu akan terus berputar, tidak peduli siapa kau, sebaik apa kau atau seburuk apa kau, waktu cukup adil memberi setiap kesempatan kepada tiap-tiap manusia di dunia ini, karena setiap manusia diberi waktu 24 jam dalam sehari, tidak bisa kurang dan tidak bisa lebih. Semua memang ada masanya,
ada masanya ketika aku bisa bermain sepuas-puasnya dan sama sekali tak peduli bila waktu terus berjalan.
Ada masanya, ketika aku mengenal seseorang yang sebelumnya asing bagiku tetapi malah memberi rasa kenyamanan sama seperti ketika aku bertemu keluarga ku dan ada pula masanya,
ketika aku mengenal sebuah tanggung jawab akan perbuatan yang telah aku perbuat.
Setiap masa selalu menuntut akan sebuah perubahan, baik perubahan fisik maupun perubahan pola pikir dan aku mustahil untuk mencegahnya. Sekarang saja, aku masih tak menyangka bila aku telah beranjak dewasa. Sama seperti perubahan, datangnya mimpi beserta angan-angan masa depan tak bisa aku hindarkan.
Masa depan, masa yang kelak pasti aku temui. Banyak yang bilang, jika masa depan itu indah, penuh gegap gempita karena adanya harapan-harapan, memang begitu indah bila melihat diriku di masa depan seperti yang aku angankan. Tetapi sama seperti lainnya, aku takut akan masa depan. Aku takut, bila nanti bertemu dengan hal-hal yang harus aku hadapi di masa depan.
Karena aku adalah jiwa yang selalu ingin lebih, maka aku ingin mencoba semua hal-hal baru yang belum pernah aku temui. Sehingga aku memutuskan untuk aktif bertemu lingkungan-lingkungan baru, mengikuti berbagai kepanitiaan, komunitas atau organisasi, karena dari sana aku bisa mengintip luasnya dunia dari ilmu serta pengetahuan yang aku dapat lewat ikatan pertemanan baru. Tetapi karenanya aku juga dibuat takut, karena bila banyak mengikuti kegiatan, membuat aku tak bisa untuk memprioritaskan mana yang lebih penting dari semua kegiatan yang telah aku pilih dan akhirnya aku melalaikan sebuah tanggung jawab.
Menyesal pun ada, setiap tidak bisa menuntaskan sebuah tanggung jawab, karena siapa toh yang ingin mengecewakan teman?
Bertemu dengan teman-teman serta lingkungan baru sering membuatku merasa nyaman, sehingga aku tak sadar bila waktu yang aku punya telah aku habiskan bersama mereka. Karena waktu dan kepercayaan yang telah aku berikan kepada mereka, aku pun tak sadar bila perbuatan serta perkataanku telah mengikuti mereka dan sering pula aku memilih dan merencanakan sesuatu hal karena mereka. Akhirnya, aku menyadari jika lingkungan itu telah mengubahku menjadi pribadi yang jauh berbeda dari yang dulu, yakni menjadi pribadi baru.
Perubahan yang tak bisa aku hindarkan itu membuatku takut. Aku takut bila lingkungan itu membuat perencanaan masa depanku kabur karena aku hanya terombang-ambing oleh sebuah asumsi semu dari mereka. Bisa jadi, apa yang aku anggap benar ternyata salah, bisa jadi yang aku anggap salah ternyata benar, ya semua itu karena lingkungan. Aku takut masa depan serta cita-citaku hancur karena mereka.
Ada masanya, ketika aku begitu menggebu untuk mengejar mimpi serta angan-anganku, teman dan keluarga menjadi semangat tambahan. Senyum dari merekalah yang membuatku yakin, aku bisa mengejar gegap-gempitanya masa depan. Lalu, segala perjuangan pun aku lakukan untuk mengapai mimpi-mimpi itu. Aku kian menjadi pribadi yang begitu bersemangat, menjadi pribadi yang tak kenal menyerah, tak peduli oleh orang lain yang mencibir serta meremehkanku.
Tekadku bulat kala itu, yakni menjemput masa depan yang penuh gemerlap, kadang pula di tengah perjalanan aku korbankan suatu hal aku miliki, waktu, kepercayaan, materi, semuanya aku korbankan semata-mata untuk sebuah impian. Aku benar-benar menjadi pribadi yang rakus akan masa depan dan telah menjadi pribadi yang terhasut oleh perkataan mereka; bila perjuangan memerlukan pengorbanan. Tetapi ada suatu masa ketika perjuangan, pengorbanan, dan semua langkah hebat yang telah aku susun rapi bukannya mendatangkan kesenangan melainkan hanya kesedihan.
Pada saat itu aku tahu. Bila mimpi dan angan-angan harus mulai aku tepikan, karena bukannya aku menyerah tetapi aku memilih untuk berdamai dengan diri sendiri, agar hati ini tidak kian sakit oleh harapan yang tak bisa terkejar lagi. Aku takut bila hal itu aku temui di masa depan.
Setiap lingkungan baru selalu mengantarkan orang-orang baru. Ada yang singgah begitu lama, tetapi ada pula yang begitu cepat memutuskan pergi. Mungkin hidup hanya perihal datang dan pergi, datang lagi atau pergi dan tak pernah kembali. Nantinya masa depan pun akan seperti itu, entah di lingkungan kerja, lingkungan sosial, pertemanan, semuanya adalah hal yang hanya beda nama, yakni selalu mendatangkan orang baru. Kadang mereka datang membawa kebahagiaan, siap tuk dibagikan kepadaku, mereka membuat rasa nyaman, tentram dan tawa.
Semua yang datang bagiku adalah paket lengkap yang tercipta khusus untuk aku. Tetapi hidup tidak melulu tentang kesenangan bukan? Ada teman yang membagi suka, tetapi ada pula yang membagi duka. Ada teman yang membuat bahagia, ada teman yang membuat sengsara. Ada. Satu di antara teman yang membuat duka dan sengsara adalah teman yang pura-pura baik atau sering ku bilang “fake smile”, aku tak suka. Tapi pasti, ada orang yang datang penuh riang kepadaku, tetapi ada mau. Ada teman yang aku kira baik, tetapi di belakang membuat sakit. Ada. Dan aku takut teman seperti itu. Semoga aku dan kalian tidak.
Hidup tidak lain hanyalah tentang perkara memilih, ketika aku sedang anak-anak, aku memilih untuk meneruskan sekolah di bangku sekolah dasar. Tamat di sekolah tersebut aku melanjutkan di jenjang berikutnya, sekolah menengah pertama dan akhirnya menamatkan masa-masa berseragam di sekolah menengah atas atau lazim kalian menyebutnya SMA. Ketika itu, aku tidak berpikir panjang untuk bersekolah di SD, SMP atau SMA. Bahkan, sebagian besar pilihan yang aku putuskan tidak jauh dari intervensi kedua orang tua, ayah dan ibu.
Tapi esok hari, ketika telah menamatkan masa-masa sekolah dan berujung di kehidupan profesional, aku lebih berhati-hati dalam memilih. Selain karena ibu dan ayah ku tidak lagi ikut campur tentang perkara memilih, aku takut jika pilihan ku salah dan yang kedua pilihan yang aku pilih sepenuhnya menjadi tanggung jawabku. Aku takut, jika pilihan yang aku pilih malah membuat diriku tidak berguna. Jika pilihanku tidak membuatku senang, malah membuatku sedih, jika pilihanku tidak sesuai idealisku atau jika semua yang aku pilih telah membuang waktu berhargaku dan semua berakhir dengan kekecewaan.
Seiring berjalannya waktu, aku akan bertemu dengan banyak orang baru dan lingkungan baru yang sering menuntutku untuk melakukan penyesuaian menjurus "mengubah diri sendiri". Termasuk dengan pekerjaan yang menuntutku untuk menjadi "orang lain" atau aku yang berubah hanya karena ingin meraih predikat pertemanan dengan teman-teman sebayaku. Aku yang dulu periang, dituntut untuk tegas dan tidak murah senyum. Aku yang dulu suka berbagi, kini dituntut menutup diri. Aku yang dulu tidak pernah merogoh kocek dalam untuk sesuap nasi, kini mengeluarkan uang saku 1 bulanku untuk makan siang.
Aku takut, bila pergaulan mengubah diriku menjadi sosok lain yang tak pernah aku kenal sebelumnya, aku takut bila menjadi bukan diri sendiri.

Sunday 26 February 2017

Jangan Mengejarku Untuk Menjadi Pacarmu, Aku Lebih Ingin Menjadi Ibu Dari Anak-Anakmu Kelak

Jika boleh jujur, kaki ini sudah lelah berjalan menjajal tanah yang berbeda. Jemariku juga mulai jengah digenggam tangan yang tak sama. Sudah tidak lagi kubutuhkan kencan romantis di malam Minggu atau kejutan anniversary berupa bunga di depan pintu.
Sebab kini, masa depan jauh lebih penting dari semua simbol-simbol itu.
Jika memang rasa kita bermuara pada titik yang sama, bolehkah kuminta satu hal saja padamu? Tolong jangan pinta aku untuk menjadi pacarmu, sebab wanita yang satu ini jauh lebih ingin menjadi ibu dari anak-anakmu.
Drama tak penting dalam cinta sudah khatam kita alami sebelumnya. Bersamamu, bolehkah kujalani cinta yang lebih dewasa?
Kita sudah sama-sama cukup mapan sebagai manusia. Aku tidak bicara soal rumah, mobil, deposito dan segala turunannya. Sebab kini kutahu perjalanan hidup tak melulu soal itu saja.
Kamu dan aku adalah dua orang manusia yang sudah khatam dengan segala drama cinta. Tidak bisa move on sekian lama, menyalahkan diri sendiri karena kebodohan jatuh cinta pada orang yang salah sampai sempat menghentikan langkah karena hati yang terlalu berdarah.
Tapi kita berdua juga sama-sama pejuang yang berhasil mengalahkan hati sendiri. Kamu bangkit meski pun kini mungkin saja hatimu tidak utuh seperti dulu lagi. Aku memutuskan berjuang kembali, sebab konyol sekali jika hanya karena urusan hati aku menyesal sampai mati.
Kita jelas bukan dua orang dengan sejarah manis dalam urusan perasaan tapi bukankah justru lewat kesakitan kita banyak belajar?
Aku bukan lagi gadis kecil yang merengek minta diantar pulang. Kini lebih kuingin kita berbaring sembari berbagi remang.
Buat apa kamu antar jemput aku jika pada akhirnya kita harus terpisah di dua kamar berbeda? Padahal, usap dan pendampinganmulah yang membuatku merasa kembali punya daya. Bagimu, bukankah juga berlaku hukum yang sama? Katamu celoteh ceriwisku membuat matamu terjaga, demi merampungkan pekerjaan yang masih terbawa.
Sebab itu, tolong hentikan upayamu mengajakku pulang bersama atau menawarkan tumpangan sepulang kerja. Aku bukan lagi gadis remaja yang bisa luluh hanya karena ada pria yang tampaknya ingin selalu bersama.
Sudah tak lagi ingin kutemukan ada pria yang menanti di depan pintu, bersabar menunggu dalam penampilan terbaikku. Aku juga tidak lagi butuh dimanjakan dengan makan di tempat fancy terbaru pun jalan-jalan ke mall di malam Minggu.
Buatku, tak ada yang lebih indah dari bisa pulang ke rumah yang sama. Mengakhiri hari lelah berdua, saling mengusap bahu dan punggung yang pegal sebab tegak terlalu lama. Kita akan menggelar kencan mesra di atas satu bantal yang sama.
Kepalamu merapat ke leherku, sejenak meletakkan beban yang terlampau berat disitu. Tanganku merengkuh lingkar perutmu, merelakan diriku jadi tanah liat dalam lentiknya jemarimu.
Di tengah dunia yang makin tak waras dan tanpa batasan, bersama akan kita bangun hidup dalam tudung kewajaran.
Tanpa perlu meminta restu pada orang tua, menyelenggarakan perhelatan yang membuat kita sakit kepala —sebenarnya seluruh fasilitas khas orang dewasa sudah bisa kita rasa. Tanpa ada orang yang peduli dan mengomentari ini itu. Dunia memang sudah gila untuk membiarkan hal-hal di luar kewarasan bergulir tanpa batasan.
Tapi Sayang, biarlah itu menjadi masa lalu. Seiring berjalannya waktu, bukankah kamu dan aku sepakat bahwa kewajaranlah yang memberikan kenyamanan?
Selip tangan di balik baju, cium-cium kecil di tempat umum setiap kita mau —tak mampu memberikan ketenangan itu.
Semua yang sudah dilewati dahulu membuka mataku dan matamu bahwa ini bukan cuma perkara merelakan tubuh dan mendedikasikan waktu. Ada yang lebih besar dari dua hal sepele itu.
Kita dipertemukan tidak hanya untuk melebur mimpi dan cair tubuh menjadi satu. Ada tanggung jawab demi membangun peradaban baru. Membentuknya lewat arahanmu, kemudian membesarkannya lewat tanganku.
Kuharap kamulah yang menggenggam tangan saat perut mulai membesar. Jadi orang pertama yang kubangunkan setiap mahluk kecil itu mulai menendang.
Sungguh, tidak terbayangkan bisa kukatakan permohonan ini sekarang. Gadis yang dulu sangat percaya pada kebebasan justru kini menginginkan menetap di satu perhentian. Tapi memang tidak ada skenario yang lebih dari ini. Menjalani hari-hari biasa bersamamu, bercinta dengan malas-malasan setiap pulang, lalu saling mengeluarkan unek-unek yang terpendam seharian.
Kuharap, kamulah orangnya. Semoga tawa bahagiamulah yang bergetar di gendang telinga setelah test pack kesekian kita menunjukkan dua garis merah di atasnya. Kuharap pundakmulah yang kutemukan, saat kebahagiaan paripurna sebagai wanita kuluapkan.
Tidak ada orang lain yang lebih kuharapkan menggenggam tangan sewaktu perutku mulai membesar dan badanku tampak tak proporsional. Kuharap kelak kamu cukup sabar meyakinkan bahwa tubuhku tidak tampak seperti balon besar berisi gas helium yang siap terbang.
Dalam malam-malam penuh tendangan, tidak ada yang lebih ingin kubangunkan selain dirimu, pria yang membawaku ikut serta dalam upayanya membangun masa depan. Dia yang dengan bangga kukenalkan sebagai “Ayah” dari anak-anak yang kelak akan kulahirkan.
Kuminta kamu berhenti bukan karena tidak ingin didampingi. Tolong biarkan aku masuk dalam hidupmu lewat peran yang lebih penting —nantinya.
Maka, kumohon Sayang, berhentilah sekarang. Tidak perlu kamu hujani aku dengan rayuan atau pun hadiah bahkan perhatian yang kamu anggap bisa menenangkan. Pendampingan dalam status “hanya pacar” bukanlah sesuatu yang bisa kubanggakan. Kini, ada yang lebih penting untuk dilakukan.
Kuminta, bersabarlah. Bekerjalah lebih keras mulai sekarang. Bukan cuma soal mengisi tabungan tapi juga mempersiapkan diri untuk menjadi panutan. Sebab kelak, ada nyawa-nyawa baru yang akan menjadikanmu idola nomor wahid dalam kehidupan. Lepaskan aku sekarang. Izinkan aku menempuh jalan sendiri untuk berkembang. Kelak, ingin kumasuki kehidupanmu dengan peran yang membuat senyum mengembang.
Akan kuabdikan diriku, kuberikan seluruh kesetiaanku, kuserahkan akses ke semua lekuk tubuhku —agar kamu bisa membuatku menjadi seseorang yang dipanggil “Ibu” oleh anak yang lahir dari benihmu.
Aku sungguh ingin kamu dampingi.
Hanya saja dalam ikatan yang lebih pasti, nantinya.